Kiamat.
Detik ini juga dia berhasil mengambil kehidupan sebelas tahunku. Ralat. Tidak tepat sebelas tahun sebenarnya. Sepuluh tahun, sebelas bulan, dua puluh sembilan hari. Angka yang mengarak detik pada jarum jam yang berdetak di dinding itu akan menjadi sebelas tahun yang panjang untuk hubunganku bersama lelaki yang berdiri tanpa ekspresi di depanku ini. Dia tak peduli dengan derai air mataku. Dia tak peduli dengan desisan penuh rasa sakit yang meluncur dari bibirku. Dia tidak ingin peduli. Aku berusaha menarik napas yang seringnya tersendat. Menghapus sisa-sisa air mata di wajah sembabku. Mataku tak sedikit pun luput memperhatikannya. Mencari sedikit celah untuk mengemis kenangan akan masa lalu kami. Ah, Percuma. Tak ada tatapan cinta—atau paling tidak kasihan—di mata beriris cokelat tua itu. Mulutnya terkatup setelah berkata, "Aku ingin kita putus," tadi. "Ke-kenapa?" tanyaku dengan suara sengau dan lirih. "A-aku salah apa sama kamu? Ini soal kemarin?"
Aku menyeret langkahku untuk mengikis jarak di antara kami. Sayangnya, satu langkah yang kuambil untuk mendekatinya, dibalas dengan dua langkah menjauh darinya. Dia menciptakan jarak untuk kami. "Aku udah berusaha mengerti dan menekan egoku selama ini buat kamu, dan ternyata aku gak bisa bertahan lebih lama lagi." "Kamu ... kamu yang dulu bilang kalau kamu cinta aku apa adanya, Val! Ka-kalau kamu enggak bisa ngertiin aku sekarang, enggak apa-apa. Tapi jangan begini .... Please." "Iris."
Suara itu. Suaranya saat memanggil namaku masih mampu meneduhkan hatiku. Namun, tak ada getar apa pun di sana. Seolah dia tak pernah melantunkan asa pada namaku.
Diam-diam, aku berusaha menulikan hatiku.
"Selama ini, kalau kita berantem, kamu yang selalu menang karena aku berusaha ngertiin kamu," ucapnya dengan intonasi yang terlalu datar. "Selama ini, kalau kita berantem, aku selalu diam dan membiarkan masalah kita mengendap tanpa penyelesaian. "Aku sabar, karena kamu tahu betul, aku terlalu sayang sama kamu. Kemarin itu—" "Aku cuman minta kepastian, Val! Aku ini perempuan yang umurnya gak lagi muda! Aku gak bisa berleha-leha tanpa memikirkan pernikahan. Di desa sana, namaku terus-terusan disebut dan ditanyakan soal pernikahan! Aku akan masa bodoh seandainya orang tuaku juga seperti itu ...." Aku menengadah, menatapnya kembali. Bibirku bergetar, menahan isak. "Please. Aku benar-benar gak bermaksud ngatain kamu laki-laki pengecut." "Tapi itu kenyataannya, Iris." Dia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. Sekarang wajah tak berekspresi itu luntur dengan satu emosi; penyesalan.
Dia mendekatiku perlahan, membuat alarm peringatan berdengung di pikiranku. Sesuatu dalam hatiku menjerit, memberitahu bahwa pria di depanku akan mengoyak lukaku.
"Kamu benar," bisiknya. Kepalanya tertunduk, menyejajarkan tatapanku dengan sorot redupnya. "Si pengecut berengsek ini terlalu takut. Aku tidak pernah siap dengan pernikahan. Trauma itu menang telak, mengalahkan perasaanku sendiri. Kamu benar, Iris, seharusnya kamu tidak bertahan dengan laki-laki sepertiku." Dan itulah.
Percakapan itu yang mengakhiri segalanya.
Menandaskan sebelas tahun kami yang panjang. Dia lupa, siapa yang jatuh bangun berada di sisinya saat dia terseok mencapai mimpi.
Dia lupa, siapa yang menyediakan pelukan ketika kemunafikan dunia membuatnya menggigil. Dia lupa, dialah yang dulu memintaku untuk tak pernah melepaskannya. Dia, berhasil menciptakan kiamat dalam waktu sedetik untukku.
Dan aku ... kehilangan duniaku.