top of page

CERPEN: Sepeda Tua Milik Bapak

Aku terpekur, mengamati sepeda rongsok yang tergeletak tak terurus, di dalam gudang rumahku. Sepeda itu terlihat ringkih dan kusam. Warna merahnya tergerus karat. Bapak, bisik kenanganku. Kakiku melangkah dengan derap gemetar. Tanganku terangkat perlahan, mengelus sepeda tua di hadapanku. Sengatan rasa sakit langsung menjalar di kedua telapakku. "Kamu mungkin akan sukses suatu saat nanti, Nak. Tapi, jangan kau lupa jasanya padamu," kata bapak di suatu pagi yang terik. Seragam putih merah yang kukenakan telah kusut. Perjalanan yang kami tempuh untuk sampai ke sekolah, membutuhkan waktu hampir satu jam dengan naik sepeda.

Bapak menepuk-nepuk sadel sepeda, kemudian mengusap kepalaku. "Kalau aku sukses, aku akan membelikan bapak sepeda motor. Bapak tak perlu naik sepeda ini lagi," tekadku bersungguh-sungguh. Aku menengadah dan menatap bapak yang masih mengusap kepalaku. Rambut putih bapak tersembunyi di balik songkok hitam yang selalu ia pakai. Bapak menggeleng dan tersenyum. Senyumnya selalu meneduhkan teriknya mentari. "Bapak tidak butuh sepeda motor, Nak. Kau lihat?" Dia menggeser sepeda untuk lebih dekat dengannya. "Sepeda ini kawan bapak. Bapak tidak mau menggantinya dengan apa pun." Bapak ... kawan mana yang tega merenggut nyawamu? Aku mencengkram badan sepeda yang berkarat di hadapanku. Keinginanku sangat besar untuk memusnahkan benda ini, tetapi ... bagaimana jika kenangan bapak juga ikut musnah? Tidak boleh! teriak batinku. Rasa sakit itu sekarang tidak hanya menyengat telapakku yang menyentuh badan sepeda. Dia ikut menggerogoti hatiku. Pikiranku melayang-layang pada kenangan tentang bapakku ... dan sepeda butut merahnya. Sore itu bapak mengantarku ke surau dengan sepeda. Tidak seperti perjalanan ke sekolah yang cukup jauh, kami hanya menghabiskan waktu lima belas menit untuk sampai di sana. Bapak memarkirkan sepedanya di samping surau. Sementara aku mulai mengikuti Anton, Gugun dan Bagas—para sahabatku—bersiap-siap kursus mengaji.

Sebelum memasuki surau, kepalaku menoleh ke belakang untuk mengamati bapak yang mengelus-elus sepedanya. Aku menggeleng dan bergumam samar, "Pasti rantai sepedanya akan bermasalah lagi."

Anton, Gugun, serta Bagas tertawa saat mengamati arah tatapanku. "Sepeda bapak kau itu," seru Bagas, "ck, ck ... kata bapakku, itu umurnya lebih tua daripada aku, kau, bahkan Anton dan Gugun! Tak pantaslah kau naik itu! Minta bapak kau belikan mainan, jangan urus sepeda terus. Sepeda begitu, masuk museum saja! Hahaha .... "

Meskipun tahu kalau Bagas hanya bermaksud bercanda, tak ayal ucapannya membuatku tersinggung. Tanpa berpikir panjang, aku menarik kerah seragam yang ia pakai. Kepalan tanganku mengenai wajahnya. Bagas langsung tumbang di atas lantai. Suara dentuman pantat dan lantai yang saling bercumbu terdengar cukup keras. Dia mengaduh kesakitan, tetapi segera bangkit dan mengarahkan pukulan yang bertubi-tubi ke wajahku.

Sialan benar! Aku kalah karena bobot badan kami yang tak seimbang. Badan Bagas dua kali lebih besar dariku. Kalau saja Gugun dan Anton tidak langsung melerai kami, aku sudah menjadi mayat di tempat ini. Gugun berteriak-teriak, memanggil nama bapakku dan Ustad Romah—guru pengajian kami. Dalam keadaan setengah teler, aku melihat bapak tergopoh-gopoh mendatangiku. Dia tidak marah ketika mendengarkan penjelasan Gugun dan Anton. Wajahnya terlalu cemas dan letih untuk terlihat marah. Bapak berhati-hati menyentuh wajahku. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" Aku mengangguk dan mengabaikan kepalaku yang berdentum menyakitkan. Wajahku terasa perih sekaligus mati rasa. Bagas berengsek! Awas saja dia. "Bapak mau ke desa sebelah dulu. Di sini tidak ada obat merah untuk mengobati lukamu. Tunggu di sini sebentar." Punggung lebar bapak perlahan terlihat menjauh.

Perasaanku tiba-tiba dilanda rasa tak nyaman dan gelisah tanpa alasan yang kuketahui. Aku bersandar di dinding surau dengan dibantu Gugun dan Anton. Ustad Romah sedang memberikan hukuman dan wejangan pada Bagas yang menatapku dengan raut bersalah. Bapak. Hari itu, aku punya firasat buruk. Namun, aku mengabaikannya. Harusnya aku menghentikan langkahmu. Harusnya aku menahan punggung hangatmu—yang selalu terlihat ketika kau mengayuh sepedamu di hadapanku—berpaling dari pandanganku. Bapak .... Tubuh itu tergeletak tak berdaya. Dia tidak bergerak. Tanah-tanah di sekitarnya mulai tertimbun darah segar yang mengalir dari kepala, tangan, hingga kakinya. Sepeda rongsoknya semakin menyedihkan tatkala penyot di sekujur bagannya. Wajahku masih terasa kebas. Kepalaku masih berdentum sakit. Tubuhku masih menyimpan lelah. Namun, ketika seseorang datang berlari menemui Ustad Romah dan menatapku dengan raut itu, raut keprihatinan, aku tahu kalau aku harus berlari ... terus berlari—mengabaikan segala sakit yang kuderita—dan ... menemukan raga bapakku di sana. Redup, tak lagi bernyawa. Bapak ... mungkin kau terlalu menyayangi sepeda tua rongsokmu ini. Hingga darinya, kau merenggut nyawamu.

bottom of page