top of page

CERPEN: LUNA

Mata bulat itu menatap sendu ke arahku. Aku bergeming, mengamati keadaan bocah perempuan yang berdiri di depanku saat ini. Dia ... terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Wajah anak itu penuh dengan lebam biru. Bibirnya yang pucat, sobek dan kering itu bergetar—entah menahan sakit atau ketakutan. Ada juga luka-luka lain yang bahkan darahnya telah mengering di tubuh ringkihnya. Dan yang paling terlihat mencolok adalah garis melintang—bekas cambukan—berwarna merah di kedua kakinya yang kesusahan menahan bobot tubuh kurus itu. "Ka-kau ingin duduk?" tanyaku. Suaraku tersendat ngeri atas apa yang disaksikan oleh mata kepalaku sendiri. Dia menggeleng dan mengerjap dengan mata yang sayu. Bercak noda hitam—ampas dari tumpahan kopi—mengotori seragam kuning yang ia kenakan. Mataku beralih mengamati seragam bernoda itu. "Kenapa kau menumpahkan kopi pada seragammu, Luna? Kau yakin akan memakai itu ke sekolah?" Dengan hati-hati, aku berusaha menyentuh bagian tubuhnya yang tidak terdapat luka. Aku melihat arloji dan menghitung waktu yang tersisa untuk bisa mengantarkannya ke sekolah. Tinggal lima belas menit lagi dan dia masih sangat berantakan. "Aku .... " Luna menggigit bibirnya. Tangan kecilnya menggosok-gosok bekas tumpahan kopi pada seragam. "Aku ti-tidak punya seragam lain. I-ini juga seragam yang diberikan Bibi Marie." "Dia memberikan seragam yang ada bekas tumpahan kopi padamu?" Nada suaraku naik beberapa oktaf. "Bukan." Luna menggeleng tegas. Suaranya mengecil saat berkata, "Ayahku yang menumpahkan kopinya pagi ini di seragamku. A-apakah kau tahu cara membersihkan noda ini?" Aku menghela napasku, menahan umpatan yang ingin kukeluarkan pada sosok yang dipanggil ayah oleh bocah perempuan di depanku ini. Kuanggukan kepalaku. "Masuklah. Aku akan mengganti seragammu," kataku. Dia melangkah dengan sedikit tertatih. Begitu aku menawarkan bantuan, dia menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku sanggup berjalan sendiri. Ini hanya luka kecil." Aku meringis mendengar jawabannya. Setelah Luna berhasil masuk ke dalam ruang tamu, aku menutup pintu di belakangnya. Kakiku menekuk dan menumpukan tubuhku pada lutut untuk menyejajarkan tinggi badan kami. Secara perlahan dan berhati-hati, tanganku melepas satu per satu kancing seragamnya yang usang. Dia meringis beberapa kali, saat tanpa sengaja jariku menyentuh lebam yang mulai pudar di bagian perutnya. Besok, aku akan membelikannya seragam yang lebih pantas. Begitu tubuh kurus Luna hanya menyisakan pakaian dalam yang sama usangnya dengan seragam yang ia kenakan, alisku terangkat. Dia memakai pakaian dalam yang kemarin? "Luna ..., " panggilku. Wajahnya tertunduk ke bawah, malu menatapku. "Kapan terakhir kalinya kau mandi?" Luna mengintip dari bulu mata lebatnya. Jari-jarinya saling memilin. Aku menatap cemas pada kakinya. Tidakkah dia butuh duduk? "Kau boleh duduk. Aku akan mencari gaun yang bisa mengganti seragammu untuk sementara. Kau tahu, kemarin aku memang membelikan beberapa gaun untukmu. Kurasa kau akan menyukainya." Aku mengganti topik perbincangan kami dan berbalik menuju kamar, mencari pakaian ganti untuknya. "Aku tidak bisa mandi," bisiknya. Kakiku berhenti melangkah. Kukira ada yang salah dengan pendengaranku. "Apa?" tanyaku, tak mengerti. "Rasanya akan sakit kalau terkena air," jelasnya singkat. Dia terlihat risi dengan pandanganku yang terus tertuju pada ... tubuhnya. Lalu pemahaman itu langsung memberondong otakku. Menyentak nuraniku dengan sakit yang terus berdenyut. Bodoh! Tentu saja, bocah ini tidak bisa mandi dengan kondisi tubuhnya yang penuh luka di mana-mana. Aku kembali meringis dan menggigit bagian dalam mulutku. Air mata, yang berusaha kutahan sejak awal kehadirannya di depan pintu rumah, berbondong-bondong mendesak  keluar. Sakit. Bocah berumur enam tahun ini sudah harus menanggung rasa sakit fisik yang mungkin orang dewasa pun tak akan sanggup menanggungnya. Sakit. Luna bukan tak perasa. Dia kesakitan! Namun, dia tidak pernah menangis. Air matanya telah mengering, yang hanya menyisakan kepasrahan di mata kelamnya. Luna tidak lagi datang dengan kondisi tersedu-sedu, seperti kali pertama ia menceritakan apa yang telah ayahnya perbuat selama ini. Dia ... telah merasa mati. Dadaku begitu sesak dan panas. Rasa terbakar ini diciptakan oleh amarah, kecewa, dan putus asa atas reaksi dari lingkungan sekitar yang begitu tak acuh atas apa yang menimpa bocah seperti Luna. Polisi keparat, umpatku geram. Seharusnya mereka sudah memasukkan lelaki jahanam—yang berstatus ayah kandung Luna—itu ke dalam penjara. Seharusnya dia membusuk di sana. Namun, apa yang dilakukan oleh para polisi saat aku melaporkan kasus ini? Mereka hanya berkata, akan melakukan penyelidikan yang—sialan—sampai sekarang pun tidak membuahkan hasil. Demi Tuhan! Ini bahkan sudah lebih dari tiga bulan berlalu sejak aku melapor untuk pertama kalinya. Dan alasan yang sama dari mereka terus terulang, seperti perkataan robot yang terprogram; konstan, dari waktu ke waktu. Mungkin, mereka pikir, mereka bisa membodohi rakyat sipil sepertiku. Reaksi dari para tetangga Luna, sama keparatnya dengan polisi-polisi itu. Mereka pasti sering menyaksikan sendiri saat si jahanam itu tega menyiksa Luna dengan sadisnya. Dan tak ada yang membelanya. Anak kecil ini harus melawan rasa sakit itu sendirian. Seandainya Luna adalah seorang yatim-piatu, aku akan melakukan apa pun untuk mengadopsinya. Apa pun. Di suatu pagi yang cerah, ketika kami menikmati sarapan roti bersama di sudut taman, samping rumahku, Luna bercerita padaku bahwa ibunya adalah seorang pelacur. Dia mengetahui hal ini karena ayahnya selalu berteriak, menyebut kalau dia merupakan anak dari seorang pelacur.

Dia bertanya, "Kau tahu pelacur itu apa? Teman-temanku sering menceritakan soal ibu mereka, jadi aku pun bercerita tentang ibuku, tetapi, sejauh yang kuketahui dari ayahku, ibuku adalah pelacur. Dan itulah yang kukatakan pada mereka." Aku yakin, setelah bocah ini mengatakan pada orang-orang di sekolahnya mengenai kondisi ibunya, desas-desus itu cepat tersebar. Membuat Luna, yang tak mengerti dengan apa yang ia katakan, lambat-laun kehilangan teman sebayanya. Aku tidak pernah mendengar Luna bercerita atau mengenalkan teman sebayanya padaku. Orang tua para murid pasti tidak ingin anaknya bergaul dengan anak seorang pelacur. Aku langsung memberi penjelasan secara singkat mengenai kata pelacur yang tak pantas ia ucapkan itu. Matanya yang bulat terang dengan bola mata cantik berwarna cokelat madu itu membesar menatapku. Mulut kecilnya membentuk huruf O yang sangat menggemaskan. Dia mengerjap dan mengangguk paham. Sejak itu, Luna tidak lagi pernah menyebut-nyebut nama ibunya, pun kata pelacur. Luna, adalah gadis kecil yang pintar. Dia bisa menghitung dengan cepat dan tepat. Katanya, dia sudah biasa dengan angka saat memperhatikan seorang tetangganya yang berjualan sayur. Jika tetangganya itu salah dalam perhitungan, Luna akan memberitahu hitungan yang benar. Selebihnya, dia hanya membaca-baca buku pelajaran yang seharusnya diperuntukkan untuk pelajar Sekolah Dasar. Bocah sekecil itu sudah bisa membaca dan paham dengan yang ia baca? Jawabannya, ya. Luna ... si jenius yang bernasib malang.

—•—

Setelah membasuh tubuh Luna dengan handuk basah dan kering secara bergantian, aku memperlihatkan kantung plastik yang berisi gaun padanya. Wajahnya berbinar ketika gaun berwarna putih gading itu kukeluarkan dari kantung plastik. "Untuk sementara, pakai ini dulu. Aku akan menjelaskan nanti pada wali kelasmu soal seragammu yang terkena tumpahan kopi," jelasku. Luna mengangguk, masih dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan raut senangnya melihat gaun yang kuberikan. "Terima kasih, gaunnya cantik," katanya pelan. Dia malu-malu menatapku. Jariku menyisir rambutnya yang panjang dan berikal di bagian ujung. "Aku setuju, gaunnya cantik seperti kau, Nak. Besok aku akan membelikan seragam baru lagi untukmu. Kau ingin yang lain? Bagaimana dengan sepatu baru? Warna apa yang kau inginkan untuk sepatumu?" Luna menggeleng. Dia lalu menatap kakinya yang tak memakai alas. "Tidak perlu. Sepatuku masih bisa kujahit." Sepatu yang tergeletak di samping pintu masuk rumahku itu sudah tidak layak pakai. Aku tidak mungkin membiarkan Luna memakainya. "Aku memaksa," kataku tegas. Mataku sengaja tak berkedip saat Luna membalas tatapanku. "Aku tidak ingin merepotkan siapa pun." Mata Luna lalu beralih pada dinding di balik punggungku. Dia meringis ketika tanpa sengaja menggigit bibir bawahnya. Hatiku kembali diremas oleh tangan tak kasat mata saat melihat Luna yang sulit menerima perhatian dari orang asing, termasuk aku. Oh, Luna. Aku langsung menariknya dalam pelukan dan berusaha untuk tak menyakiti tubuhnya. "Salah, Nak. Salah. Kau tidak akan membuatku repot." Kuberi jarak di antara kami untuk dapat kembali melihat responnya. "Kau mau menerima hadiah yang kuberikan, 'kan?" Luna berkedip dan aku melihatnya tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku melihat bocah itu tersenyum! Dia hanya menarik satu sudut bibirnya ke atas, tetapi ... itu merupakan senyum terbaik Luna selama ini. Aku jarang melihat Luna menampilkan ekspresi lain selain kepedihan. —•— Ketika kuberi penjelasan pada wali kelasnya perihal kondisi Luna, ibu guru itu hanya menatapku dengan alis berkerut. Bingung, adalah apa yang tercetak jelas di wajahnya. Mungkin dia tidak percaya dengan perkataanku soal masalah serius yang dialami oleh anak didiknya. Aku menarik napas kesal. Sudahlah. Tak ada gunanya untuk bercerita pada orang lain yang tidak peduli. Mungkin aku harus kembali menemui para polisi keparat itu dan menuntut laporanku untuk segera diproses. Atau aku akan benar-benar bertindak nekat. Aku memiliki Erick, yang bekerja sebagai seorang wartawan di stasiun televisi ternama. Dengan bantuan temanku itu, aku akan menginjak habis-habisan harga diri para polisi yang tidak mau membantu Luna. Mereka harus mengeluarkan Luna dari kungkungan ayahnya yang kejam dan berengsek itu. Aku berbalik, tanpa berpamitan dengan sopan kepada wali kelas Luna. Rasanya masih terlalu kesal untuk sekadar bersopan-santun kepadanya. Luna sengaja menungguku mengobrol dengan wali kelasnya di depan pintu kelas. Dia merasa sungkan untuk masuk kelas dengan memakai gaun yang cantik itu. "Luna .... " Aku kembali memanggilnya. Kuabaikan tatapan ibu guru yang mengikuti pergerakanku. Luna mendongak dan aku harus menyanggah kedua tanganku di atas lutut untuk bisa menatap kedua bola matanya secara langsung. "Besok, kau harus datang ke rumahku dan mengambil hadiahmu," ucapku kemudian. Dia mengangguk. "Aku akan datang." Aku memperhatikan penampilannya sekali lagi. Wajah dan tubuhnya masih penuh lebam, bahkan sedikit bengkak di bagian tertentu. Namun, kecantikan yang terpancar dari anak ini juga terlihat jelas. Seandainya luka-luka itu tersingkir dari tubuhnya, Luna akan menjadi bocah cantik nan menggemaskan. Kupasang cengiranku. "Bagus. Aku tidak sabar untuk kejutan untukmu, Cantik." Wajah Luna merona, mendengar panggilan yang baru kusematkan untuknya. Setelah menyuruhnya masuk ke dalam kelas dan memberi senyum tak tulusku pada ibu guru, aku bergegas menuju kantorku. —•— Luna berbohong ketika berjanji akan datang hari ini. Aku menunggu dan terus menunggu kehadirannya sampai menjelang tengah malam. Seragam sekolah, beserta sepasang sepatu, yang kubeli kemarin malam sudah terbungkus rapi dengan kertas kado berwarna merah jambu. Aku sengaja meletakkannya di atas meja ruang tamu agar bisa langsung memberikan kejutan untuknya. Nyatanya, akulah yang dibuat terkejut dengan ketidakhadiran bocah itu. Kugigit ibu jari tangan kananku dan berjalan mondar-mandir di teras depan rumah. Ponsel yang kugenggam di tangan kiri kembali kuremas. Aku benci ini. Seharusnya aku mencari tahu nomor telepon tetangganya untuk bisa menggali informasi keadaan Luna di saat-saat seperti ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres menimpanya. Hatiku sedari tadi berdebar-debar keras dan menyakitkan. Rasa khawatir itu menggerogoti pikiran dan hatiku perlahan. Memakan semua ketenangan yang kubangun. Bagaimana kalau Luna ternyata sedang disiksa lagi? Siksaan macam apa yang akan  ayahnya lakukan padanya kali ini? Siapa yang akan menolong bocah kurus itu saat dia berteriak meminta pertolongan? Luna ... apa yang terjadi padamu, Nak? Tidak. Aku tidak mau memikirkan kalau sesuatu yang buruk akan menimpa Luna. Aku tidak boleh berpikir seperti itu. Kuenyahkan pikiran buruk dari otakku yang berkecamuk. Memang, Luna tidak datang ke rumahku setiap harinya. Biasanya dia hanya datang tiga sampai empat kali dalam seminggu. Namun, Luna berjanji untuk datang hari ini dan dia bukanlah bocah yang suka mengingkari janji. Dulu sekali, aku ingat ketika Luna berjanji akan membawakan mawar untukku pada hari Selasa di bulan November, di mana aku sedang merayakan hari ulang tahunku saat itu. Aku sudah menolak karena takut membuatnya repot. Lagi pula, tabungan Luna sangat sedikit karena ayahnya sering mencuri uang yang ia tabung. Namun, Luna berkata bahwa hari itu juga merupakan hari ulang tahunnya. Kami membuat janji untuk bertemu di kafe yang letaknya tak jauh dari rumahku dan merayakan hari kelahiran kami bersama. Akan tetapi, hujan deras yang mengguyur ibu kota, membuatku tak bisa ke tempat perjanjian kami, sedangkan payung yang rencananya akan kupakai ternyata sudah rusak. Aku menyerah dan berpikir untuk menunggu hujan reda. Satu jam kemudian, hujan justru semakin lebat. Cemas memikirkan Luna yang sedang menunggu kedatanganku, aku hampir nekat menembus rintik hujan, sebelum kehadiran anak itu di depan pintu rumah mengejutkanku. Badannya yang kecil dan kurus terlihat menggigil menahan kedinginan. Tangannya bergetar saat menyerahkan setangkai mawar merah—yang ikut basah terkena air hujan—padaku. "A-aku b-belum te-ter-lambat, 'kan? Se-selamat u-ulang tahun untuk kita," merupakan kalimat yang terlontar dari bibirnya yang menggigil dan membiru pucat. Aku tergugu dengan isakan ketika ingatan itu berhasil menamparku. Luna, apakah kau baik-baik saja? —•—

Aku menemukan jawabannya tiga hari kemudian. Gedoran keras pintu rumahku di hari Minggu, membangunkanku yang baru berhasil tidur pukul lima subuh tadi. Aku sering mengalami insomnia. Biasanya, aku akan terlelap pukul dua sampai tiga malam. Namun, rasa khawatirku pada Luna membuat waktu tidurku mundur dua jam dari yang seharusnya. Dengan mata mengantuk, aku membuka pintu rumah dan hampir menjerit melihat apa yang terpampang di depanku saat ini. Luna ... datang dengan tubuh yang penuh darah. Sangat. Sangat banyak darah. Ya Tuhan .... "Tolong ... tolong aku," lirihnya. Aku mundur dua langkah ke belakang dan berusaha menelan teriakan histeris yang sudah menyangkut di ujung tenggorokanku. Aku berdeham untuk menyamarkan serak dalam suaraku yang bergetar ketika bertanya, "Luna ... a-apa y-yang dilakukan ba-ba-jingan itu padamu?" Luna terdiam di tempatnya. Pandangannya kosong saat menatapku. "Luna .... " Aku mendekatinya secara perlahan dan menyejajarkan tinggi kami. Ketika tanganku menggapai rambutnya, ia menjawab pertanyaanku dengan nada sengau, "Aku membunuhnya." Apa? "A-a-apa yang ... kau, astaga!" Darah segar mengalir dari selangkangan Luna. Kakinya yang kecil bergerak-gerak tak nyaman. Aku langsung memapah Luna dan berlari menuju toilet. "Aku membunuh ayahku," bisiknya pilu. "Dia ... dia memasukkan sesuatu ke milikku. Rasanya sangat sakit ketika dia melakukannya. Aku ... sudah memintanya berhenti. Ta-tapi dia tidak mendengarku. Jadi aku ... aku memukul kepalanya dengan botol minuman yang dia bawa." Luna terus bercerita dalam gendonganku. Aku tidak lagi peduli atas apa yang baru saja ia katakan karena perasaan takut melihat darah yang mengalir dari selangkangannya tidak berhenti. "Tolong aku," bisiknya lagi. Oh. "Aku akan menolongmu! Jangan berbicara lagi," jawabku untuk menghentikan ocehannya. Aku tidak mau darah itu terus mengalir karena dia yang tidak berhenti bercerita sedari tadi. Aku mendudukkan Luna di atas kloset, melepaskan gaun yang ia pakai dari tiga hari yang lalu. Gaun itu hampir berwarna merah-kecokelatan terkena darahnya. "K-kau berjalan kaki dari rumahmu ke sini?" Aku tidak percaya dia bisa sekuat itu dengan kondisi seperti sekarang. Wajah Luna yang semakin pasi mengangguk, bibirnya bergetar antara menahan sakit dan ringisan yang keluar saat mencoba bercerita kembali, "Me-mereka ti-dak ada yang mau ... aduh," rintihnya tertahan. "Mereka tak ada y-yang mau menolongku. Apakah ... apakah aku akan mati?" Mata yang dulunya bersinar saat menatapku, perlahan memudarkan sinarnya. Redup itu terpampang nyata, mengambil hidup anak kecil di depanku. "Tidak! Tidak! Kau tidak akan mati!" Aku berteriak histeris menjawab pertanyaan itu. Tanganku dan sekujur tubuhku semakin bergetar. Dia tidak boleh mati. "Aku akan menyelamatkanmu! Kau dengar itu, Luna? Aku ... kita akan ke rumah sakit. Ya, rumah sakit!" Aku mengangguk saat ide itu melintas dalam pikiranku. "Jangan." Luna menahan pergelangan tanganku. "Ku-kumohon ja-jangan tinggalkan aku. Aku takut," bisiknya. Setetes air bening jatuh dari matanya. "Aku takut ... tolong aku." Luna ... oh, Luna. Bagaimana lagi aku harus menolongmu, Nak? "Tunggu di sini, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian." Setelah mengganti baju secara serampangan dan memakaikan Luna pakaian yang lebih pantas, aku kembali menggendongnya untuk membawanya ke rumah sakit yang langsung terlintas dalam pikiranku. Dengan gesit, aku mengambil dompetku di atas meja makan dan mencari taksi. Aku tak lagi peduli dengan pintu rumah yang tidak terkunci. "Tolong aku." Kalimat itu terus keluar dari bibirnya yang bergetar. Aku mencoba menghentikan pendarahan yang ia alami dengan jaketku. Sopir taksi menatap kami dengan ekspresi bingung dan juga panik, mungkin dia bingung melihat keadaan Luna yang sudah berdarah sangat banyak seperti sekarang. "Kita mau ke mana, Nona?" tanya sang sopir taksi. "Healing Hospital, Pak!" jawabku panik. Aku tidak lagi bisa memikirkan apa pun selain kondisi Luna. Tuhan, tolonglah ... jangan ambil dia. Jangan biarkan Luna pergi dengan cara seperti ini. —•— Perjalanan ke rumah sakit terasa lebih lama dari yang biasanya. Begitu sampai, aku meminta sopir taksi menunggu di teras lobi karena aku harus memanggil perawat untuk meminta pertolongan pertama yang dapat menghentikan pendarahan Luna—yang tidak berhasil berhenti dengan jaketku yang sudah berwarna merah tua. Suasana rumah sakit ini terasa tak asing. Namun, aku lupa kapan terakhir kalinya aku ke sini. "Suster!" Salah seorang perawat yang lewat di hadapanku langsung kucekal tangannya. Alis perawat itu mengernyit saat menatapku. "Adik saya. Suster lihat taksi di sana?" Kutunjuk taksi yang berada di depan lobi. "Adik saya mengalami pendarahan. Di-dia ... banyak sekali darah yang keluar dari selakangannya. Ba-bagaimana caranya saya  ...." "Maaf, saya sedang sibuk." Lalu perawat itu melepas cekalanku pada lengannya dan memilih pergi dengan tergesa-gesa, mengabaikan teriakanku yang terus memanggilnya. Aku kembali memanggil perawat lainnya yang lewat dan berteriak meminta pertolongan. Namun, mereka terus tak mengacuhkan lolonganku, meski sudah kukatakan ada anak kecil yang butuh pertolongan mereka saat ini. Luna ... Luna .... Aku terus menyebut nama anak itu di dalam hatiku. Kau harus bertahan, Nak. "Dokter!" Akhirnya, aku berhasil menghadang seorang dokter yang baru saja keluar dari salah satu lift. Sang dokter berhenti dan menungguku untuk berbicara. "Di sana." Tanganku kembali menunjuk taksi yang tadi. "Ada anak kecil yang pendarahan, Dok! To-tolong, kumohon ... tolong dia. Tolong kami, Dok." Air mata merebak membasahi wajahku. Aku menatap nanar tubuh Luna yang tak bergerak dan penuh darah di jok belakang kursi penumpang. Dokter memperhatikan objek yang kutunjuk sekilas, lalu beralih padaku. Matanya menatapku sesaat sebelum mengangguk. "Baik, kami akan menolongnya. Anda harus duduk dan tenang. Coba ambil napas secara perlahan dan embuskan dengan pelan." Aku mengikuti intruksinya. "Ya, ya, seperti itu. Bagus. Pintar." Setelah merasa cukup tenang, aku membiarkan dokter pergi untuk menangani keadaan Luna di ruangannya. —•— Raut wajah kesakitan Luna yang terpampang dalam ingatanku, tak mau pergi. Aku tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Ayahnya akan mendapatkan hukuman yang setimpal! "Permisi." Sebuah suara datang menginstrupsi saat aku sedang menunggu Luna di ruang tunggu yang diperuntukkan bagi keluarga pasien. Aku menoleh dan menemukan seorang bapak polisi yang berkisar di atas 40-an umurnya, dengan rambut yang mulai diliputi uban dan kumis tipis yang menampilkan kesan sangar pada wajahnya. "Anda wali dari anak kecil yang dirawat di dalam, 'kan?" Dengan dagunya, polisi tersebut menunjuk ruangan Luna diperiksa. Aku mengangguk. "Ya," jawabku singkat. Aku masih memiliki 'sesuatu' dengan orang-orang yang bekerja sebagai polisi ini. Karena mereka juga pantas disalahkan atas apa yang menimpa Luna. "Karena bocah tersebut saat ini sedang menjadi tersangka atas kasus pembunuhan ayahnya sendiri, kami ingin menanyakan beberapa hal pada Anda," jelas polisi di depanku. Apa dia sedang bercanda? "Tersangka? Kalian gila! Demi Tuhan, bocah itu mengalami kasus pelecehan seksual oleh ayah kandungnya sendiri! Dan kalian justru akan menjebloskannya ke penjara, hah?" teriakku murka. "Maaf, tapi ini sudah sesuai dengan hukum yang—" "Aku akan membunuh kalian!" Aku maju beberapa langkah dan mengambil kerah seragam polisi di depanku. Polisi itu tampak terkejut dengan perlakuanku, tetapi aku tidak peduli. Persetan. "Aku akan bunuh kalian! Karena ulah kalian bocah itu ada di sana!" Aku menunjuk ruangan Luna dengan mata yang hampir lepas dari tempatnya. "Hey, Nona, tenanglah." "Aku akan bunuh kalian! Aku akan membunuh kalian semua! Aku .... " Selanjutnya, aku tidak bisa melihat apa pun yang dilakukan oleh si keparat itu. Kepalaku terasa pusing.

Saat menyenderkan tubuhku di sudut dinding, depan pintu ruang tunggu, kegelapan total langsung menyambutku. —•— Bau khas aroma rumah sakit tercium hidungku. Mataku yang berat, perlahan terangkat. Tubuhku seperti baru saja dipaksa melakukan kerja rodi; remuk di sana-sini. Aku menangkap gerakan samar dari tirai jendela yang bergerak mengikuti arah angin. Di balik tirai ada terik yang menyambut. Di samping kiriku, terdapat gantungan infus yang selangnya terhubung langsung dengan tangan kiriku. Jelas sudah, kalau aku berada di atas ranjang rumah sakit saat ini. Apa yang terjadi? Kupaksa ingatanku untuk mengambil memori terakhir yang berhasil direkam otakku. Namun, tak kunjung berhasil. Hanya putih dan hitam yang saling tumpang-tindih membuat kepalaku berdenyut. Aku memijit kepalaku untuk menghilangkan denyutannya. Menopang tubuhku dengan siku tangan, kuedarkan pandanganku untuk memikirkan kemungkinan apa yang bisa terjadi dan menjebakku kembali ke ruangan ini. Ranjangku berhadapan langsung dengan sofa  cokelat tua dan pintu masuk. Di sisi kiri ranjang, terdapat jendela yang kacanya terangkat sedikit sehingga tirai biru itu sering bergerak, menari bersama angin. Di sisi sebelah kanan, terdapat pintu yang kuyakini sebagai pintu toilet dan juga cermin yang berukuran lumayan besar menggantung pada dinding samping pintu. Aku mendapati diriku tertarik untuk menangkap bayanganku sendiri di dalam cermin. Pasti penampilanku sangat buruk dan berantakan. Dengan membawa infus dan mengangkatnya dengan tangan kananku, kakiku tertatih menuju di mana cermin itu berada. Pantulan perempuan yang berada di balik cermin itu terasa asing dan akrab secara bersamaan. Seperti ada yang menghilang dan ada pula yang terasa pas di sana. Sosoknya begitu cantik, dengan mata bulat dan berwarna cokelat madu. Rambutnya jatuh bergelombang di balik punggung dengan ikal yang memperindah di bagian ujung rambut. Tanganku yang pegal, karena memegang botol infus, berusaha merenggangkan jari-jariku. Pergerakan itu tak lekang dari perhatianku yang masih memindai wajahku di cermin. Lalu, sesuatu tertangkap bola mataku .... Sebuah gelang kertas berwarna pink, dari rumah sakit.

Dengan perlahan, kepala dan leherku bergerak kaku, menghadap ke arah tangan kananku yang terangkat dan memperhatikan gelang itu secara saksama. Aku mengeja nama yang tertera di sana. L - U - N - A. Luna ... ... namaku. 


bottom of page